âș Kendati telah berusia ribuan tahun, wayang masih bertransformasi mengikuti dinamika zaman. Itu sebabnya wayang dapat terus relevan dengan kehidupan masa kini. Kompas/Hendra A Setyawan Sejumlah wayang kulit, wayang golek, dan wayang suket dipamerkan dalam pameran bertajuk âWayang Rupa Kitaâ di Bentara Budaya, Jakarta, Sabtu 20/11/2021. Pameran yang berlangsung hingga 4 Desember 2021 ini menampilkan wayang koleksi Bentara Budaya. Pameran bertujuan sebagai bentuk upaya Bentara Budaya untuk menjaga tradisi dan kebudayaan KOMPAS â Anggapan bahwa wayang adalah kebudayaan yang kuno dan kaku tidak tepat. Menurut catatan sejarah, wayang bertransformasi mengikuti dinamika zaman, baik dari segi bahasa lisan maupun media mendalang. Wayang diyakini tetap bisa relevan dengan konteks kehidupan ini mengemuka pada acara bincang wayang berjudul âPesona Indonesiaâ yang disiarkan Radio Sonora, Jumat 26/11/2021. Acara tersebut merupakan bagian dari rangkaian pameran Wayang Rupa Kita yang digelar di Bentara Budaya Jakarta pada 19 November hingga 4 Desember 2021. Kurator wayang di pameran tersebut sekaligus dalang, Nanang Hape, mengatakan, anak muda kerap dihakimi sebagai generasi yang berjarak dengan wayang dan tradisi. Padahal, jarak itu ada karena anak muda kerap terkendala bahasa pedalangan, bukan karena tidak tertarik pada wayang.âMereka tidak dekat dengan wayang karena tidak paham dengan bahasanya, tidak punya cukup waktu untuk menonton pertunjukan wayang semalam suntuk, dan sebagainya,â kata GANDHAWANGI Nanang Hape, kurator wayang di pameran Wayang Rupa Kita di Bentara Budaya Jakarta, Selasa 23/11/2021.Itu sebabnya, ia berupaya membuat pertunjukan wayang dengan sejumlah penyesuaian, baik dari segi bahasa, durasi, maupun ritme. Ia juga membuat siniar podcast di Spotify untuk menyampaikan dongeng wayang. Setidaknya ada 15 judul siniar berdurasi 2-10 menit yang telah diunggah. Siniarnya bertajuk âDongeng Wayangâ.Baca juga Wayang, Media Belajar Filosofi KehidupanTransformasi wayang juga terjadi beberapa abad silam. Nanang mengisahkan, pada masa kerajaan Kediri, wayang masih menggunakan bahasa Jawa Kuna. Bahasanya berubah menjadi bahasa Jawa baru sekitar masa Kerajaan Demak, setelah Majapahit itu menunjukkan fleksibilitas wayang dalam menghadapi perkembangan zaman. Fleksibilitas itu juga membuat wayang dapat bertahan sejak keberadaannya tercatat di abad ke-4 hingga kini di abad ke-21.âWayang berkembang dan beradaptasi pada setiap zaman. Yang berubah biasanya adalah media ungkapnya. Sementara teks-teks rujukannya masih bertahan hingga sekarang,â ucap GANDHAWANGI Bayangan sejumlah wayang pada pameran Wayang Rupa Kita di Bentara Budaya Jakarta, Kamis 18/11/2021. Pameran ini dibuka untuk umum pada 19 November hingga 4 Desember 2021. Ada lebih dari 120 wayang yang ditampilkan dalam 17 adegan teknologi menjadi tantangan sekaligus peluang. Kisah wayang dapat disampaikan ke publik dengan berbagai cara dan format, tidak melulu dengan pertunjukan semalam suntuk. Wayang dapat disampaikan pula dalam bentuk novel, cerpen, lukisan, tarian, dan juga bisa dikembangkan menjadi animasi atau film. Kuncinya, pegiat pewayangan perlu belajar keterampilan-keterampilan baru yang menunjang hal juga Wayang, Media Belajar Filosofi KehidupanSaat dihubungi terpisah, budayawan Sudarko Prawiroyudo mengatakan, pergelaran wayang mesti disesuaikan dengan kondisi masa kini. Format pergelaran wayang semalam suntuk dapat disingkat. Bahasa pedalangan pun dapat diubah menjadi bahasa Indonesia.âKalau menggunakan format masa dulu, ya, tidak cocok karena semua hal berubah. Ceritanya pun dapat diubah sedemikian rupa sehingga kekininan,â kata Sudarko. âSebagai contoh, saya pernah membuat pergelaran wayang dengan gamelan, terompet, dan lampu. Itu menyenangkan buat ditonton. Pergelaran itu saya buat bersama Ki Manteb Soedarsono pada 1986,â RUKMORINII Bambang Eka Prasetya membawa wayang rusa, figur rusa Sarabha dari cerita relief candi yang baru saja dikisahkannya kepada para siswa TK dan SD Kanisius di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jumat 19/11/2021.âWayang Rupa KitaâAdapun publik dapat mengenal wayang melalui pameran âWayang Rupa Kitaâ di Bentara Budaya Jakarta. Sedikitnya ada 120 wayang yang ditampilkan. Wayang-wayang itu terbagi dalam 17 tersebut terbuka untuk umum. Publik dapat mengakses pameran ini secara daring di kanal Youtube Bentara Budaya Jakarta. Pameran ini juga dapat dikunjungi secara langsung setiap hari, kecuali Minggu, pada pukul Namun, pengunjung harus melakukan registrasi di laman Bentara Budaya Jakarta terlebih A Setyawan Sejumlah wayang kulit, wayang golek, dan wayang suket dipamerkan dalam pameran bertajuk âWayang Rupa Kitaâ di Bentara Budaya, Jakarta, Sabtu 20/11/2021. Pameran yang berlangsung hingga 4 Desember 2021 ini menampilkan wayang koleksi Bentara Budaya. Pameran bertujuan sebagai bentuk upaya Bentara Budaya untuk menjaga tradisi dan kebudayaan Bentara Budaya Paulina Dinartisti mengatakan, seni tradisi termasuk wayang kerap dianggap tua oleh generasi muda. Mempresentasikan wayang dalam bentuk digital pun diupayakan untuk mengikis jarak generasi tersebut.âKami berharap seni tradisi dapat terus melembaga dan direspons masyarakat luas, khususnya generasi muda. Sebab, siapa lagi yang akan meneruskan tampuk seni tradisi jika bukan generasi muda?â ucap juga Keteladanan Wayang untuk Membangun Karakter Bangsa EditorAloysius Budi Kurniawan
Wayangmerupakan salah satu media tradisional. Media tradisional adalah media komunikasi yang menggunakan seni pertunjukan tradisional, yang lahir dan berkembang di tengah masyarakat pedesaan.1 Sementara fungsi media tradisional. sendiri adalah sebagai sarana hiburan, sarana pendidikan, sarana kontrol sosial, sarana diseminasi informasi, sarana pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya
Tradisi wayang di IndonesiaFoto Yovinus Guntur/DWWayang konon berasal dari kata "bayang" atau "ayang-ayangâ Jawa yang kurang lebih bermakna bayangan, image, gambar, gambaran, atau imajinasi. Wayang memang sebuah bayangan, gambaran, imajinasi, perlambang, atau simbol atas lika-liku kehidupan nyata umat manusia yang sangat warna-warni. Karakter tokoh-tokoh wayang yang beraneka ragam keras-lunak, pendendam-pemaaf, pemarah-penyabar, licik-jujur, beringas-sopan, dlsb merupakan gambaran atau perlambang karakter manusia di dunia nyata. Karakter wayang yang saya sukai adalah Ontoseno atau Antasena salah satu putra Bimasena yang mendapat julukan "Ksatria edan sakti mandraguna" "ksatria gila tetapi sakti tanpa tandingâ. Ia adalah sosok yang ceplas-ceplos, ngomongnya ngoko bahasa Jawa kasar tidak bisa bahasa Jawa halus kerama inggil seperti saudara-saudaranya Gatutkaca dan Ontorejo. Tetapi ia memiliki pribadi dan jiwa yang kuat, jujur, ksatria, sakti, dan pemberani membela kebenaran dan melawan keangkaramurkaan siapapun pelakunya. Wayang di Mancanegara Pertunjukan wayang ini sudah sangat klasik dan menjadi bagian dari tradisi dan budaya berbagai masyarakat dan suku-bangsa di dunia, bukan hanya Indonesia. Selain Indonesia, negara-negara yang cukup akrab dengan dunia seni pertunjukan wayang adalah India, Cina, Mesir, Turki, Nepal, Kamboja, Thailand, Perancis, Yunani, dlsb. Di Yunani, seni wayang ini disebut karagiozis, sedangkan di Turki disebut karagoz dan hacivat atau hacivad. Seni pertunjukan wayang di Turki dipopulerkan oleh rezim Dinasti Turki Usmani Ottoman, yang didirikan oleh Usman Gazi di akhir abad ke-13 M. Pemerintah Turki Usmani dulu menggunakan seni pertunjukkan wayang di seluruh kekuasaannya, termasuk kawasan Timur Tengah dan Yunani. Para elit Muslim rezim Turki Usmani menggunakan wayang sebagai medium untuk mengsosialisasikan program-program pemerintah maupun alat komunikasi dan berinteraksi dengan warga, selain sebagai "hiburan rakyat" tentunya. Sosok "karagoz" melambangkan "kelas bawah""wong cilik" sedangkan "hacivat" menggambarkan "kelas atas" dan "golongan terdidik" "wong gede". Dalam konteks seni wayang kulit Indonesia, sosok "karagozâ ini seperti rombongan "punakawanâ, sementara karakter "hacivatâ seperti para kesatria dari Amarta atau Alengka. Karena Mesir dulu pernah menjadi daerah kekuasaan Turki Usmani, seni wayang pun ikut-ikutan populer di negeri Piramida ini. Di Mesir, sosok atau karakter "karagozâ disebut "aragozâ yang masih dimainkan hingga kini. Aragoz, yang selalu mengenakan topi khas warna merah disebut "tartourâ, merupakan lambang rakyat kecil dan selalu melontarkan kritik-kritik sosial yang cerdas dan bernas dengan gaya banyolan ala Abu Nawas di Abad Pertengahan Islam. Turki Usmani bukan satu-satunya agen yang memperkenalkan seni wayang di Mesir. Dinasti Fatimiyah, di abad ke-10 M, dikabarkan juga memperkenalkan seni wayang. Bahkan sebagian sumber menyebut seni wayang sudah ada sejak zaman Mesir Kuno. Muhammad Ibnu Daniel al-Mousilli di abad ke-13 M, pernah menulis dan mendokumentasikan sejarah seni pertunjukan wayang di Mesir dan Timur Tengah pada umumnya dalam sejumlah kitabnya seperti Taif al-Khayal, Ajib wa Gharib, dan al-Moutayyam. Untuk melestarikan seni wayang ini, pemerintah Mesir bahkan sampai mengirim sejumlah seniman untuk belajar seni pertunjukan wayang di berbagai negara. Di antara mereka adalah Salah Al-Saqa, Ibrahim Salem, Mustafa Kamal, Ahmad Al-Matini, Kariman Fahmi, dan Asal-Usul Wayang di Indonesia Jika di Mesir jenis wayang yang populer adalah wayang golek terbuat dari kayu, di Indonesia ada cukup banyak jenis wayang, baik yang populer maupun bukan. Selain wayang golek, ada wayang kulit, wayang klitik, wayang orang, wayang potehi yang ini berasal dari Tiongkok, wayang suket wayang ini dipopulerkan oleh almarhum Ki Slamet Gundono, wayang menak, wayang cupak, wayang gedog/wayang topeng, wayang beber, wayang sadat, wayang wahyu, dlsb. Dari sekian banyak jenis wayang tersebut, tiga di antaranya, yaitu wayang kulit, wayang golek, dan wayang klitik mendapat predikat sebagai "Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanityâ. Predikat ini diberikan oleh UNESCO pada tahun 2003. Dengan anugerah atau predikat ini, UNESCO memberi "mandatâ pada pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk bersama-sama memelihara, melestarikan, dan bahkan mengembangkan dan memajukan tradisi dan seni adiluhung ini. Ada sejumlah pendapat tentang asal-usul wayang di Indonesia, khususnya untuk jenis wayang kulit. Ada yang menyebut dipengaruhi oleh kebudayaan India tetapi ada pula yang mengatakan bahwa seni wayang kulit ini merupakan bagian dari "local geniusâ leluhur Nusantara, khususnya Jawa pendapat ini dikemukakan oleh beberapa sejarawan Belanda seperti Hazeu dan Brandes. Dari manapun asal mulanya, pertunjukan seni wayang sudah cukup tua di Nusantara. Misalnya, sekitar abad 9 M, ditemukan Inskripsi Jaha, dikeluarkan oleh Maharaja Sri Lokapala dari Kerajaan Medang di Jawa Tengah, yang menyebutkan tentang sejumlah pertunjukan seni, termasuk perwayangan. Kemudian pada abad ke-10 M ditemukan sebuah inskripsi "Si Galigi Mawayang" yang berarti "Tuan Galigi Bermain Wayangâ. Sudah tentu, khususnya dalam seni wayang kulit, kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana ala India menjadi salah satu tema populer dalam seni perwayangan di Indonesia. Tetapi dalam perkembangannya, sumber inspirasi pertunjukkan seni wayang itu sangat kaya dan beraneka ragam, bukan hanya dipengaruhi oleh cerita-cerita ala Hindu India saja tetapi juga dari sumber-sumber lain, misalnya, Serat Menak, sejarah keislaman, dan kisah-kisah kehidupan manusia sehari-hari. Tokoh-tokoh wayang pun beraneka ragam dan banyak yang berciri khas lokal Nusantara. Serat Menak tidak jelas siapa penulisnya dan kapan terbitnya tetapi populer di Jawa dan Lombok adalah sebuah karya sastra fiksi agung yang konon diinspirasi oleh karya sastra Melayu, Hikayat Amir Hamzah yang merupakan terjemahan dari sebuah karya sastra yang ditulis di zaman Khalifah Harun al-Rasyid w. 809 di abad ke-8/9 M. Yang dimaksud dengan Amir Hamzah atau Raja Hamzah dalam Serat Menak dan Hikayat Amir Hamzah adalah Hamzah bin Abdul Muttalib w. 625, salah seorang paman Nabi Muhammad w. 632 yang gagah perkasa dalam membela dan menyebarkan Islam di abad ke-7 M. Dari cerita Serat Menak inilah kemudian lahir sejumlah jenis wayang seperti wayang golek menak atau wayang orang menak, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Barat, yang isi atau alur ceritanya menggambarkan lika-liku dakwah Islam dan perjuangan menegakkan masyarakat bermoral seperti yang dilakukan oleh "Amir Hamzahâ. Wayang Bukan Hanya Sebagai Tontonan Tapi Juga Tuntunan Karena wayang dianggap sebagai tradisi positif serta medium yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan-pesan moral ke masyarakat, maka para ulama dan Walisongo dulu, elit Muslim Turki Usmani, raja-raja Islam Jawa, dlsb ikut mempraktekkan dan memopulerkan seni wayang ini. Dengan kata lain, oleh mereka, wayang bukan hanya sebagai "tontonanâ atau hiburan masyarakat saja tetapi juga "tuntunanâ atau pedoman hidup agar masyarakat menjadi lebih baik, mulia, bermoral, dan Sumanto al QurtubyFoto S. al Qurtuby Saya sendiri adalah penggemar berat wayang, khususnya wayang kulit. Saya juga suka dengan wayang golek. Beberapa dalang favorit saya adalah Ki Nartosabdo, Ki Hadi Sugito, Ki Timbul Hadi Prayitno, Ki Anom Suroto, Ki Manteb Sudarsono, Ki Sugino Siswocarito, dan Ki Seno Nugroho. Untuk wayang golek, Ki Asep Sunarya Jawa Barat dan Ki Rohim Jawa Tengah adalah "dalang idolaâ saya. Sayang, sebagain besar dalang senior dan sepuh yang piawai sudah almarhum. Dalang piawai yang masih tergolong muda seperti Ki Seno Nugroho dan Ki Enthus Susmono juga sudah meninggal. Meskipun begitu saya melihat di YouTube ada sejumlah dalang muda yang sangat berbakat seperti Ki MPP Bayu Aji Pamungkas putra Ki Anom Suroto atau Ki Sigit Ariyanto. Ada lagi sejumlah "dalang cilikâ seperti Ki Yusuf Ansari. Ini tentu cukup menggembirakan. Islam, Seni, dan Budaya Almarhum KH Abdurrahman Wahid Gus Dur pernah mengatakan kalau Islam hadir bukan untuk "mengislamankan tradisi dan budaya lokal" tetapi untuk "memberi nilai" atas tradisi dan budaya setempat itu agar tidak melenceng dari nilai-nilai dan norma-norma keislaman dan kesusilaan. Jika tradisi dan budaya lokal itu sudah sangat baik, positif, bernilai, dan bermoral, serta bermanfaat untuk masyarakat banyak, maka Islam tidak mempermasalahkannya, dan bahkan turut memelihara dan menyerapnya karena memang "sudah Islami". Itulah yang dilakukan oleh Walisongo, para ulama NU, dan tokoh-tokoh muslim lainnya di Nusantara, dulu maupun kini. Mereka tidak mempermasalahkan wayang karena dianggap sebagai tradisi positif. Gus Dur bahkan salah satu tokoh muslim yang menjadi penggemar berat wayang dan sering menonton wayang maupun menanggap dalang-dalang legendaris. Bagi saya, wayang bukan hanya penting untuk dilestarikan tetapi juga penting untuk dikembangbiakkan sebagai sarana tontonan yang menghibur dan medium tuntunan yang bermanfaat. Kalau wayang diharamkan karena dianggap sebagai warisan sejarah dan tradisi/budaya pra-Islam, bukankah banyak sekali apa yang umat Islam kini "klaim" sebagai "ajaran, tradisi, atau budaya Islam" itu sebetulnya dan sesungguhnya berasal dari tradisi dan kebudayaan pra-Islam seperti dari tradisi/budaya Yahudi, Persi, Arab, Nabatea, dlsb? Beragama, termasuk berislam, tidak cukup hanya dengan berbekal dalil teks ini-itu ayat, hadis, qaul/perkataan ulama tetapi juga perlu bekal wawasan sosial-kesejarahan, ilmu pengetahuan, serta kedewasaan berpikir agar lebih arif dan bijak dalam menyikapi pluralitas dan kompleksitas femonena sosial yang terjadi di masyarakat. Sumanto Al Qurtuby Pendiri dan Direktur Nusantara Institute; Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals, anggota Dewan Penasehat Asosiasi Antropologi Indonesia Pengda Jawa Tengah *Setiap tulisan yang dimuat dalam DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Ditengah himpitan kemajuan zaman, pria berumur 30 tahun itu, terus bertahan mempertahankan warisan, serta tradisi sebagai dalang dan pengrajin wayang golek Betawi. YOGI WAHYU PRIYONO. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Pepatah tersebut melekat pada sosok Reza Purbaya. Darah seni sudah mengalir pada Reza Purbaya.
Jawaban Pertunjukan wayang bertahan sampai sekarang karena wayang merupakan salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia. Wayang dianggap memiliki nilai sangat berharga dalam pembentukan karakter dan jati diri bangsa serta peradaban Indonesia. Pembahasan Wayang mulai dikenal dan berkembang di Nusantara sejak 1500 SM sebagai bagian ritual. Wayang dianggap memiliki nilai sangat berharga dalam pembentukan karakter dan jati diri bangsa serta peradaban Indonesia. Dalam perkembangannya wayang merupakan salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan seni perlambang. Wayang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Oleh karena itu wayang dianggap memiliki nilai sangat berharga dalam pembentukan karakter dan jati diri bangsa serta peradaban Indonesia.
JANGERadalah sebuah Drama Tradisional yang hidup dan berkembang di Kabupaten Banyuwangi hingga sekarang. Konon Janger ini adalah bentuk adaptasi dari Langendriyan yang dikembangkan Penguasan Mataram saat menguasai Blambangan. Bentuknya sangat unit, karena penampilan pisik dan musiknya seperti Drama Gong Bali. Termasuk dengan tarian pembukanya.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Indonesia memiliki banyak tradisi dan budaya yang beragam, bermakna, dan unik. Hal ini menjadi tidak heran apabila banyak Indonesianist yang akhirnya penasaran dan membuat riset mengenai budaya Indonesia. Pembahasan kali ini akan didasari salah satu teori yaitu kajian budaya atau cultural studies. Kajian budaya ini merupakan teori yang mendalami konteks keadaan dan kondisi dalam suatu budaya. Hal ini akan sesuai pada pembahasan terkait pertunjukkan wayang dalam menghadapi konteks global dan budaya Pemuda yang pastinya mengalami banyak perspektif baru dan kondisi serta keadaan yang satunya seperti riset yang ditulis oleh Matthew Isaac Cohen dengan judul "Contemporary Wayang in Global Contexts". Matthew Isaac Cohen sudah belajar wayang kulit di jawa hampir 6 tahun lamanya. Pada penelitiannya Cohen menjelaskan tentang bagaimana wayang ditempatkan dalam konteks global yang dimulai pada masa kolonial. Hal ini sangat menarik sebab dari risetnya dapat diketahui sudut pandang budaya wayang di negara luar. Hal ini terlihat dari penjelasan Cohen bahwa pada awal abad 20, wayang juga akan menginspirasi praktisi teater Eropa dan Amerika Cohen, 2007, h. 340. Jadi, tidak heran bagi kita bagaimana wayang mampu berkembang di negara risetnya, Cohen menceritakan salah satu penggemar wayang terbesar di Eropa yang Bernama Edward Gordon Craig yang mengambil fokus masalah yang cukup menarik. Craig mengecam para philologists karena menggambarkan konstruksi wayang tanpa mengacu pada teater fungsionalitas angka terutama gambaran awal Raffles tentang wayang dalam The History of Java Cohen, 2007, h. 342. Hal ini tentu memberi informasi baru yang konteksnya di luar Indonesia tentang bagaimana mereka mengambarkan konstruksi wayang. Cohen juga menjelaskan bagaimana Pandam didorong untuk melakukan pertunjukkan wayang di Amerika Serikat sebagai cara mengkomunikasikan tentang budaya Jawa. Alhasil, Padam berkolaborasi dengan James Brandon untuk memproduksi pertunjukkan wayang kulit dengan mahasiswa Brandon teater asia bahkan bekerja sama dalam meluncurkan buku yang diterbitkan oleh Harvard University Press as On Thrones of Gold Cohen, 2007, h. 352 . Hal ini mengagumkan terkait pertunjukan wayang kulit yang mampu menarik minat di luar Indonesia hingga diterbitkan dalam bentuk buku. Cohen 2007, h. 362 menjelaskan bahwa sampai sekarang masih banyak performers luar Indonesia dengan pengetahuan praktis dan mendalam tentang wayang Jawa dan Bali bahkan tradisi wayang telah diangkut dan ditransformasikan ke luar Indonesia. Riset yang diteliti Cohen ini sangat memberikan pengetahuan luas tentang wayang dari berbagai sudut pandang dunia kepada kita. Cohen membawakan riset ini dengan menarik karena mengkaitkan berbagai perspektif terutama dalam mendalami kondisi serta keadaan seperti dasar teori kajian budaya dan sejarah tentang wayang bahkan penyebarannya ke luar satu riset yang menarik lainnya tentang wayang yang dianalisis oleh Indonesianist bernama Miguel Escobar Varela yang membahas tentang wayang Hip Hop. Hal ini menjadi menarik karena dalam risetnya, ia membahas bagaimana salah satu tradisi pertunjukan tertua di Jawa yaitu Wayang bertemu budaya pemuda wayang Hip Hop yang dianalisis Miguel Escobar Varela menjelaskan pro dan kontranya masing-masing mengenai Wayang Hip Hop. Pada risetnya dijelaskan bahwa perpaduan wayang dan hip hop ini bertujuan untuk menyesuaikan perubahan sosial budaya yang cepat tetapi tetap melestarikan dan tidak menghilangkan aspek etika dan estetika Jawa dalam pertunjukan wayang ini. Hal ini dianggap untuk membangun interaksi secara sengaja dan canggih dari warisan jawa dan musik pemuda global. Wayang hip hop ini juga lebih mengeksplorasi masalah kontemporer dengan penonton dibandingkan pencarian spiritual para pangeran wayang tradisional, tetapi tetap mengandalkan pengetahuan budaya penonton. Wayang hip hop berdasarkan riset ini dinilai mampu menyesuaikan diri dengan berbagai pengaturan penampilan Varela, 2014. Oleh karena itu, Riset yang ditulis Miguel Escobar Varela tentang wayang hip hop ini terasa bagaimana tradisi pertunjukan seperti wayang digabungkan dengan pertunjukan musik di zaman modern dalam rangka untuk menyesuaikan perubahan tanpa melupakan tradisi wayang tersebut. Varela kembali menjelaskan bahwa wayang Hip Hop banyak mendapatkan kontra dan kritikan. Tertulis dalam risetnya bahwa direktur lokal asosiasi wayang Indonesia mengatakan bahwa karakter wayang yang berada dalam lingkup spiritual tinggi, tetapi ketika diwakili dengan Hip Hop, unsur keindahan dan nilai moral tidak ada. Kritik lainnya yang didapatkan adalah bahwa penampilan mereka digambarkan dengan bentuk yang dangkal dan 'mutilasi brutal' Varela, 2014. Bahkan banyak pencinta wayang justru takut bentuk pertunjukan asli wayang memudar menjadi budaya anak muda. Kritikan ini tentu sangat relevan karena budaya dan tradisi asli perlu dipertahankan ketika menghadapi perubahan dua riset tersebut yang dibawakan oleh Matthew Isaac Cohen dan Miguel Escobar Varela tentang salah satu kultur Indonesia berupa Wayang memberikan sejumlah sudut pandang baru. Kedua riset ini dapat saling melengkapi satu sama lain. Hal ini karena dari riset Cohen mampu menjelaskan bagaimana budaya wayang dalam konteks dunia, sedangkan pada riset Varela memberi pengetahuan bagaimana tradisi wayang menghadapi budaya yang 1 2 Lihat Sosbud Selengkapnya
Jadiada wayang yang jumlahnya 350 sampai 400 wayang, ada yang jumlahnya hanya 180 wayag dan ada yang kurang dari 180 wayang. Hal ini karena nama alat musik tersebut nyaris sama dengan alat musik 'sitar', sebuah alat musik tradisional India. Pertunjukan wayang golek ditujukan agar mampu membuat orang-orang bisa terhindar dari
ï»żPertunjukan wayang mampu bertahan sampai sekarang, karena..... pilihannya a. Ceritanya selalu berkembang menyesuaikan kondisi masyarakat setempat b. Isi ceritanya banyak menyadur dari ceritera mahabarata dan ramayana c. fungsi pertunjukan wayang pada awalnya untuk pemujaan arwah nenek moyang e. Pertunjukan wayang banyak digunakan sebagai sarana hiburan dan komunikasi E. pertunjukan wayang banyak digunakan sebagai sarana hiburan dan komunikasi
J1cCuF. 5pfwb0zkem.pages.dev/4025pfwb0zkem.pages.dev/2585pfwb0zkem.pages.dev/4065pfwb0zkem.pages.dev/2055pfwb0zkem.pages.dev/2075pfwb0zkem.pages.dev/2915pfwb0zkem.pages.dev/2435pfwb0zkem.pages.dev/498
pertunjukan wayang tersebut mampu bertahan sampai sekarang karena